Kamis, 14 Januari 2016

THE GOOD DINOSAUR [2015]

Pada dasarnya “The Good Dinosaur” memiliki premis yang sangat menarik. Menggunakan alternate timeline berupa gagalnya meteor memusnahkan dinosaurus, ada pertanyaan apa yang akan terjadi ketika mereka tidak punah. Sayangnya, meski dengan premis menggiurkan, tidak ada pengembangan cerita yang berarti. Wajar pula bila akhirnya “The Good Dinosaur” memiliki cerita yang biasa/medioker dengan tema pencarian jati diri. Kenyataannya memang sudah banyak alur semacam itu yang kita lihat baik dalam live-action maupun animasi.

“The Good Dinosaur” bercerita tentang keluarga dinosaurus dari jenis apatosaurus. Di film ini mereka berwarna hijau cerah. Jenis ini termasuk dalam keluarga sauropoda; dimana mereka memiliki ciri khas leher panjang, bertubuh besar, serta herbivora. Jenis lain dalam keluarga serupa dapat Anda lihat pada brontosaurus, brachiosaurus, diplodocus, dan masih banyak lainnya. Sebenarnya saya adalah pecinta dunia fauna; salah satunya dinosaurus. Sedari kecil, saya kerap menonton acara TV dokumenter tentang kehidupan hewan-hewan prasejarah ini. Kagum—impresi saya kala itu. Kekaguman itu sampai sekarang pun masih ada. Tidak sedikit pula akhirnya saya mengenal beberapa jenis dinosaurus.
Hero dalam film ini adalah Arlo (Raymond Ochoa), anak ketiga dari pasangan petani apatosaurus, Henry (Jeffrey Wright) dan Ida (Frances McDormand). Kedua kakak Arlo adalah Libby (Maleah Padilla) serta Buck (Marcus Scribner) yang usil. Arlo terlahir dengan tubuh yang kecil. Selain itu ia juga dikenal penakut. Kelemahannya tersebut membuat ia diremehkan oleh saudara-saudaranya. Sebagai keluarga petani, Arlo diwajibkan mengemban tugas layaknya petani yang kita kenal sekarang ini. Memanen, beternak, hingga membajak sawah dengan “hidung”. Ya, membajak dengan hidung. Apakah mereka menahan nafas sambil melakukannya ? Saya tidak tahu. Mungkin menggunakan kaki yang besar seharusnya jauh lebih mudah bagi mereka.
Dalam pencarian jati diri Arlo lewat petualangan, ia bersahabat dengan manusia. Manusia purba mungkin lebih tepatnya. Love/hate relationship mengawali keduanya sebelum kemudian menciptakan perasaan saling memiliki satu sama lain. Ia bernama Spot (Jack Bright). Rambutnya acak-acakan, pakaiannya dari kulit hewan, serta bertubuh gelap. Ganas dan buas. Serangga besar hingga reptil kecil adalah makanannya. Fakta lucunya adalah bahwa di “The Good Dinosaur” inilah kita akan melihat bahwa para dinosaurus lah yang berbicara dengan Bahasa Inggris; sebaliknya manusia justru berkomunikasi dengan cara primitif. Siapa yang lebih kuat dan besar, maka ia berkebudayaan lebih maju. 

Petualangan berlanjut hingga mereka bertemu dengan trio tyrannosaurus. Dipimpin oleh Butch dan disuarakan oleh Sam Elliott. Seperti halnya Sam Elliott yang berperawakan “Marlboro-man” dan ala koboi; Butch juga bertampang sama. Macho, garang, ditambah lagi ia juga seorang koboi. Bersama kedua anaknya, Butch menggembalakan bison dan sedikit membuat saya bingung. Bagaimana bisa para dinosaurus bertahan jutaan tahun tanpa berevolusi sementara para mamalia tiba-tiba muncul ? Ah, lupakan saja. Seperti tradisi dalam film-film bertajuk dinosaurus, kali ini tyrannosaurus pun dilawan tandingkan dengan para velociraptor. Permusuhan keduanya seperti tidak pernah berakhir.

“The Good Dinosaur” disutradarai oleh Peter Sohn; notable work-nya banyak berhubungan dengan film-film animasi, khususnya di Studio Pixar. Naskahnya ditulis oleh Meg Le Fauve. Sebagai penonton, saya rasa kita sudah dapat menebak kemana arah cerita selanjutnya. Petualangan yang mengubah si lemah menjadi kuat adalah konsep dasar cerita dalam film animasi ini. Tidak ada yang salah dengan form zero to hero-nya, selain memang minimnya pengembangan (cerita dan karakterisasi) menjadi kekurangannya.   

Membuat “The Good Dinosaur” dengan rilisan dubbing Bahasa Indonesia; menjelaskan bahwa film ini pada dasarnya menyasar segmentasi penonton anak-anak (tidak dipungkiri dewasa juga). Untuk membuktikan apakah petualangan dinosaurus ini ‘bekerja’ atau tidak, saya buktikan dengan mengajak kedua sepupu menontonnya. Sepupu saya yang tertua berusia 6 tahun dan adiknya 5 tahun. Yang tertua sempat menjerit takut tatkala adegan dimana Spot memakan serangga mentah-mentah dan memutus kepalanya. Keduanya pun tampak sedikit bosan di pertengahan film. Bahasa tubuh anak-anak memang begitu jujur—saya rasa. Lantas saya menyimpulkan bahwa Pixar yang satu ini memang kurang mengena di hati anak-anak. Begitu juga bagi saya.      

Ini adalah pertama kalinya Pixar merilis dua film bersamaan dalam satu tahun. Sebelumnya ada “Inside Out”; perbandingan yang sangat kontras dengan “The Good Dinosaur” dari segi cerita. Meski pun saya kecewa dengan rilisan terbaru Pixar ini, visualnya lewat gambar hutan-hutan prasejarah begitu memukau. Setidaknya mampu mengobati emosi saya yang sempat terkena efek kejut di beberapa adegannya. Karena “The Good Dinosaur” adalah film dari Pixar yang paling ‘mengerikan’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AYO KITA DISKUSIKAN !